Represiterhadap massa yang dilakukan oleh aparat dalam peristiwa Tanjung Priok merupakan kasus pelanggaran HAM yang berhasil disidangkan melalui pengadilan HAM Ad Hoc. Kasus Tanjung Priok disidangkan melalui pengadilan HAM Ad Hoc karena? Recent Comments. No comments to show. Archives. May 2022; April 2022;
Iklan TEMPO Interaktif, Jakarta Kasus pelanggaran hak asasi manusia HAM berat di Tanjung Priok pada September 1984 lalu mulai disidangkan di Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat, Senin 15/9. Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Ad Hoc Andi Samsan Nganro, sepuluh dari sebelas terdakwa hadir. Mereka adalah Sutrisno Mascung, mantan Danru III Yon Arhanudse-06, beserta sembilan anak buahnya yaitu Asrosi, Abdul Halim, Zulfata, Sumitro, Sofyan Hadi, Prayogi, Winarko, Idrus, dan Muhson. Satu terdakwa, Siswoyo, berhalangan hadir karena sakit. Sidang ini diisi dengan pembacaan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum JPU. Dalam dakwaan setebal 22 halaman yang dibacakan secara bergantian oleh JPU Ad Hoc Widodo Supriady, Hazran, Yessy Esmiralda, dan Akhmad Jumali, seluruh terdakwa dijerat dengan pasal berlapis yaitu tindakan pembunuhan sebagaimana diatur dalam pasal 7 hurup b jis pasal 9 huruf a, pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP sebagai dakwaan pertama primer. Mereka juga dijerat dengan dakwaan kedua primer percobaan pembunuhan sebagaimana diatur dalam pasal 7b Jis 9a, pasal 37, pasal 41 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, pasal 53 1 KUHP subsider pasal 7b Jis pasal 9h, pasal 40 Undang-Undang No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan. Dalam uraian dakwaan, Jaksa Penuntut Umum menjelaskan bahwa pada 12 September 1984 sekitar pukul WIB, para terdakwa termasuk Parnu dan Kartijo yang belum diketahui keberadaannya yang tergabung dalam Regu III Pasukan Yon Arhanudse-6 yang di BKO-kan ke Kodim 0502 Jakarta Utara bersama dengan Kapten Sriyanto selaku Kasi-2/Ops Kodim 0502 Jakarta Utara perkaranya diajukan terpisah telah melakukan pelanggaran HAM berat yaitu melakukan pembunuhan terhadap penduduk sipil. Tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan itu, menurut JPU dilakukan sebagai bagian dari serangan yangn meluas atau sistematik. Serangan itu diketahui para terdakwa ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan. "Akibatnya jatuh korban sipil kurang lebih 23 orang atau setidak-tidaknya 14 orang meninggal dunia," jelas Widodo Supriady. Serangan itu selain menimbulkan korban jiwa, juga menyebabkan sejumlah kurang lebih 64 orang atau setidak-tidaknya 11 orang menderita luka tembak dan dikategorikan oleh JPU sebagai percobaan pembunuhan. JPU lebih lanjut menjelaskan, peristiwa itu merupakan implikasi dari peristiwa sebelumnya. Pada 7 September 1984 sekitar pukul WIB, Sertu Hermanu, Babinsa Kelurahan Koja Selatan Tanjung Priok Jakarta Utara yang sedang berpatroli di daerah itu mendapat laporan dari masyarakat bahwa di Mushola As-Saadah ada beberapa pamflet yang di tempel di dinding dan pagar mushola. Pamflet itu isinya menghasut masyarakat dan menghina pemerintah, aparat Kodim, dan Polisi. Menurut JPU,sejak Juli 1984 situasi di wilayah tersebut terutama di bidang sosial dan agama memang sedang panas. Hal itu dipicu oleh penceramah-penceramah yang menghasut jamaahnya dengan ceramah yang cenderung melawan kebijakan pemerintah kala itu. Para penceramah seperti Abdul Qadir jaelani, Sarifin Maloko, dan Salim Qadar, yang mengisi kelompok jamaah pengnajian di sekitar Kelurahan Koja menentang azas tunggal Pancasila, larangan penggunaan jilbab, dan program keluarga berencana. Mendengar laporan masyarakat, Sertu Hermanu menemui pengurus Mushola dan meminta agar pamflet itu dilepas. Namun saat Sertu Hermanu itu keesokan harinya kembali untuk mengecek ternyata pamflet-pamflet itu masih terpasang. Ia pun segera melepas pamflet-pamflet itu. Setelah itu, timbul isu di daerah itu bahwa Sertu Hermanu telah masuk Mushola tanpa membuka sepatu dan melepas pamflet dengan air got. Isu itu langsung menyulut amarah masyarakat. Sejumlah remaja dan jamaah mushola lalu meminta kepada pengurus Mushola agar Sertu Hermanu meminta maaf. Saksi Ahmad Sahi sebagai pengurus mushola lalu melaporkan ke Ketua RW. Ketua RW lalu menyarankan agar saksi membuat laporan secara tertulis kepada komandannya. Ia juga melaporkan hal itu kepada Amir Biki pada 8 September 1984. Amir waktu itu menganggap persoalan itu sebagai persoalan kecil yang tak perlu dibesar-besarkan dan meminta agar saran Ketua RW dijalankan. Pada 10 September 1984, Sertu Hermanu datang ke kantor RW 05 Kelurahan Koja Selatan. Ternyata massa berdatangan dan mencoba mengeroyok Hermanu. Meski berhasil lolos dari pengeroyokan, motornya berhasil dibakar massa. Setelah kejadian itu empat warga ditahan di Kodim 0502 Jakarta Utara. Amir Biki lalu berusaha meminta agar mereka dikeluarkan namun tak berhasil. Pada 12 September 1984 dilangsungkan pengajian umum di Jalan Sindang Kelurahan Jakarta Utara dengan peserta sekitar orang. Dalam acara tersebut, Amir kembali mengemukakan tuntutannya agar para tahanan dibebaskan. Bahkan konon ia sempat menelepon Kodim 0502 yang diterima oleh saksi Sriyanto dan mengancam akan membunuh warga Koja keturunan Cina dan membakar pertokoan milik mereka jika keempat tahanan tak juga dibebaskan hari itu juga. Mendapat ancaman seperti itu, Dandim 0502 segera berkoordinasi. Markas Komando Batalyon Arhanudse-6 Jakarta Utara memberangkatkan pasukan Arhanudse-6 sebanyak satu peleton yang terdiri dari 40 orang. Masing-masing dilengkapi senjata semi otomatis SKS lengkap dengan bayonet dan 10 butir peluru tajam. Pasukan lalu dibagi tiga regu. Dalam perjalanan menuju lokasi pengajian akbar, pasukan melihat massa penduduk sipil yang jumlahnya ribuan tengah berjalan sambil berteriak-teriak menuju arah Makodim 0502 Jakarta Utara. Dalam situasi tersebut Kapten Sriyanto lalu memerintahkan agar truk yang membawa regu III berbelok di depan Mapolres dan berhenti di pinggir jalan. Terdakwa Sutrisno Mascung, selaku pemimpin regu lalu memerintahkan pasukannya turun dan menyusun formasi untuk membubarkan massa. Namun karena massa tak bisa dibubarkan, regu III yang dipimpin Sutrisno Mascung langsung melepaskan tembakan berkali-kali kearah massa. "Bahkan terhadap massa yang lari menyelamatkan diri," jelas JPU. Akibatnya banyak korban berjatuhan, termasuk diantaranya meninggal dunia. Usai mendengarkan dakwaan, para terdakwa langsung meminta kepada penasehat hukumnya mengajukan eksepsi. "Kami tidak terima dengan tuduhan itu," kata Sutrisno Mascung. Rencananya eksepsi itu akan dibacakan pada dua minggu mendatang, Senin 29/9. Nunuy Nurhayati - Tempo News Room
Tigakasus lain yang sudah selesai yakni kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura 2000. "Tahap penanganan perkara HAM yang telah dilakukan 12 perkara hasil penyelidikan Komnas HAM telah dipelajari dan diteliti, hasilnya baik persyaratan formil, materiil, belum memenuhi secara lengkap," kata Burhanuddin.
Presiden Soeharto kemudian menekankan perlunya stabilitas di dalam masyarakat. Stabilitas juga dibutuhkan Presiden Soeharto dalam menciptakan keamanan nasional supaya tidak ada yang mengganggu jalannya Orde Baru menjaga stabilitas politik lewat penyeragaman ideologi, yaitu ideologi Pancasila. Dalam buku Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia, Anak Agung Gde Putra menjelaskan bahwa dengan penyeragaman ini kekuatan dari ideologi lain tidak boleh digunakan untuk memperjuangkan aspirasinya di tingkat politik dan Soeharto dalam pidatonya pada 16 Agustus 1967 juga menekankan bahwa Pancasila haruslah menjadi satu-satunya ideologi dan pandangan hidup bangsa. Pemerintah Orde Baru melarang adanya kelompok-kelompok oposisi karena tidak mencerminkan Demokrasi Pancasila. Sehingga, setiap pemasalahan negara haruslah diselesaikan secara musyawarah untuk awal tahun 1970-an, stablitas politik mulai diterapkan dengan cara menggabungkan partai-partai politik berdasarkan golongannya. Kelompok pertama adalah golongan nasionalis dan kelompok kedua adalah golongan Islamis. Presiden Soeharto memiliki kekhawatiran pemerintahannya dapat digoyang oleh kelompok Marhaenisme peninggalan Soekarno dan kelompok politik Islam yang jumlahnya cukup fusi partai terlaksana pada awal tahun 1973. Pada 7 Januari 1973 empat partai golongan Islam yang terdiri dari NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan pada 10 Januari 1973, kelompok nasionalis yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia bersepakat untuk bergabung menjadi Partai Demokrasi PARENGKUANDidampingi Menteri Penerangan Harmoko , Kepala Polda Metro Jaya Mayjen Pol Soedjoko kanan dan Panglima Kodam V Jaya selaku Laksusda Komkamtib Mayjen Try Sutrisno, Panglima Kobkamtib Jenderal TNI LB MOerdani, Kamis 13 September 1984, memberikan penjelasan kepada pers mengenai peristiwa Tanjung sebagai asas tunggalNamun, upaya untuk meredam kegiatan politik Islam justru membawa pengaruh buruk bagi pemerintah. Pada Pemilu 1977, PPP mencatat kemenangan-kemenangan lokal di beberapa wilayah penting Orde Baru, salah satunya di Jakarta. Hal ini memunculkan tanggapan dari Presiden Soeharto terhadap menguatnya gagasan Islam politik yang baginya dianggap Soeharto pada akhirnya terpilih kembali menjadi presiden, namun Soeharto tetap mewanti-wanti meningkatnya kekuatan politik berbasiskan massa Islam. David Bourchier dan Vedi Hadiz dalam bukunya Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999 menuliskan bahwa sejak saat itu Presiden Soeharto mulai menekankan kepada setiap partai politik harus menggunakan ideologi 16 April 1980 dalam peringatan ulang tahun Kopasandha Komando Pasukan Sandi Yudha, Presiden Soeharto juga mengingatkan bahwa adanya usaha-usaha untuk menggantikan Pancasila tidak semata-mata dengan kekuatan senjata, namun juga dengan kekuatan subversif. Mereka melontarkan berbagai isu yang mendiskreditkan pemerintahan Orde Baru dan para pejabat. Presiden Soeharto khawatir praktik-praktik ini terus dilanggengkan mendekati pelaksaan Presiden Soeharto tersebut justru mendapatkan kecaman dari beberapa tokoh seperti Nasution, Hoegeng Imam Santosa, Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, Sjafruddin Prawiranegara, dan lain sebagainya. Kelompok ini mendapatkan julukan Petisi 50 yang sangat kritis dalam mengkritik pemerintahan Orde Baru karena mengintepretasikan Pancasila yang menguntungkan bagi pemerintahannya sendiri. Petisi ini kemudian disampaikan kepada DPR pada 13 Mei Prawiranegara dalam buku Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999 mengkritik langkah pemerintah dalam pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Bagi Sjafruddin, moral suatu warga negara tidak dapat ditentukan oleh moral Pancasila yang dibentuk oleh suatu panitia yang di dalamnya tidak terdapat ulama. Apalagi beberapa aturan moral tersebut tidak dapat semuanya diterima oleh kalangan muslim karena banyak yang bertentangan dengan akidah petisi tersebut diterima dan ditidaklanjuti oleh DPR dengan menggunakan hak interpelasi, namun terdapat tindakan yang berlawanan yang dilakukan oleh badan legislatif tersebut. MPR justru memperkokoh pemberlakuan asas tunggal Pancasila sesuai dengan arahan Presiden Soeharto melalui Tap MPR No. II/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara pada Sidang Umum MPR Bab IV D pasal 3 Tap MPR No. II/1983 tentang GBHN dinyatakan bahwa semua partai politik dan Golongan Karya diwajibkan untuk berasaskan hanya pada satu asas, yakni Pancasila. Pemerintah juga terus melakukan internalisasi nilai-nilai Pancasila lewat Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4.Asas tunggal Pancasila tidak hanya dimasukkan dalam anggaran dasar setiap partai, namun pemerintah juga menerapkannya pada organisasi masyarakat ormas. Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam pada 30 Mei 1984 mengajukan lima RUU Politik kepada DPR, salah satunya adalah RUU tentang keormasan untuk menjadikan Pancasila sebagai Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI merespon dengan cepat mengenai RUU Organisasi Kemasyarakatan yang dinilai telah membatasi kebebasan masyarakat dalam berserikat. Dalam pasal RUU Ormas tersebut yang dikritik oleh YLBHI adalah pemerintah dapat membubarkan organisasi masyarakat yang tidak berlandaskan pada asas tunggal Pancasila atau yang tidak sesuai dengan undang-undang Pemuda dan Olahraga dr Abdul Gafur menjelaskan kepada Presiden Soeharto, belum diterimanya asas tunggal Pancasila dalam AD/ART beberapa ormas bukan berarti mereka tidak menerima Pancasila. Abdullah Puteh bekas tokoh Himpunan Mahasiswa Islam HMI menyebutkan dua alasan organisasinya belum menerima asas tunggal. Pertama, di antara anggota-anggota HMI masih belum jelas makna dari asas tunggal Pancasila. Kedua, para anggotanya masih belum membicarakannya secara tuntas karena di antara mereka khwatir apabila menerima asas tunggal Pancasila maka akan melepaskan akidah nilai yang dianut penolakan penerapan asas tunggal Pancasila untuk ormas, khususnya kelompok Islam, membuat pemerintah Orde Baru memberi cap ekstrim kanan kepada golongan ini. Istilah ini dimunculkan oleh Panglima ABRI Pangab/Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pangkopkamtib Jenderal LB Moerdani dalam Rapat Kerja Paripurna V Departemen Penerangan pada 25 April 1984. Dalam pernyataannya, Moerdani mengatakan bahwa setiap warga negara perlu waspada terhadap kelompok yang mengancam Pancasila dari golongan ekstrim Jenderal LB Moerdani juga kembali menekankan pada peserta Mukmamar ke-1 PPP pada 21 Agustus 1984 tentang bahaya dari kelompok yang menolak Pancasila. Moerdani mengatakan bahwa umat beragama Islam perlu waspada pada kegiatan-kegiatan yang menyalahgunakan agama untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan S HENDROWIJONOBangunan yang rusak dan terbakar di Tanjung Priok akibat kerusuhan 13/9/1984.Peristiwa Tanjung PriokTanjung Priok yang berada di wilayah Jakarta Utara merupakan salah satu sektor perekonomian paling penting di Indonesia. Hal ini membuat wilayah tersebut memiliki demografi penduduk yang cukup padat karena sebagian besar warganya juga bekerja di pelabuhan Tanjung Priok. Kebanyakan warga yang tinggal di kecamatan Koja merupakan pendatang dari berbagai macam etnis. Mereka mengais nafkah di Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pedagang kecil, penarik becak, atau berbagai pekerjaan kasar tahun 1980-an, perekonomian Indonesia yang dihantam oleh krisis akibat anjloknya harga minyak dunia membuat aktivitas di Tanjung Priok ikut terganggu. Pada tahun 1982 harga minyak dunia turun dari US$ 34,53 menjadi US$ 29,53 per barel. Pemerintah pun kemudian menaikkan harga Bahan Bakar Minyak BBM pada tahun 1982 melalui Keputusan Presiden No. 1/1982. Mulai 4 Januari 1982 rata-rata harga BBM di Indonesia naik 60% dari harga ini kemudian membuat warga masyarakat menjadi panik sehingga berujung pada naiknya harga-harga barang. Tidak hanya itu beberapa tarif listrik, angkutan umum, dan lain sebagainya ikut naik juga imbas dari harga BBM yang melambung tinggi. Selain itu, pemerintah juga membatalkan berlabuhnya 200 kapal setiap hari sehingga menurunkan daya serap tenaga kerja di Pelabuhan Tanjung inflasi Indonesia juga semakin meningkat sejak saat itu. Pada tahun 1982 inflasi Indonesia hanya 9,06%, namun pada tahun 1983 naik menjadi 13,52% dan tahun 1984 menjadi 15,35%. Sementara itu angka pemutusan hubungan kerja mengalami peningkatan tiga kali lipat dari 1983 menjadi 1984. Ini menyebabkan beban hidup masyarakat semakin dari mereka kemudian mengkritik pemerintahan Orde Baru dalam ceramah-ceramah di masjid. Mereka tidak hanya mengkritik pemerintah dalam mengatur perekonomian, namun juga terhadap kebijakan asas tunggal yang membuat kelompok-kelompok Islam semakin tersingkirkan. Nurhayati Djamas dalam tesis magisternya yang berjudul Behind the Tanjung Priok Incident, 1984 The Problem of Political Participation in Indonesia menjelaskan bahwa sikap radikal warga Tanjung Priok disebabkan karena tekanan ekonomi akibat krisis pada tahun dalam bentuk ceramah di masjid, masyarakat juga mengkritik dengan cara menempelkan pamflet-pamflet di masjid. Salah satunya adalah pamflet yang ditempel di Musala Assa’addah, kecamatan Koja, Tanjung Priok. Pemasangan pamflet tersebut mengundang reaksi aparat keamanan karena isinya yang mengkritik kebijakan 7 September 1984, aparat Babinsa Koja Sersan Satu Sertu Hermanu mendatangi musala yang dindingnya tertempel pamflet-pamflet. Ketika itu Hermanu meminta kepada Ahmad Sahi selaku pengurus musala untuk mencopot semua pamflet. Hermanu juga melarang masyarakat setempat untuk menempel pamflet-pamflet lagi yang isinya menggiring opini harinya, Sertu Hermanu kembali mendatangi Musala Assa’addah dan masih menemukan pamflet-pamflet yang tertempel di dinding musala. Dia pun marah dan mengambil pistolnya sambil menuding-nuding warga. Banyak warga ketika itu juga menceritakan bahwa Hermanu masuk ke musala hingga ke podium dan menggeledah untuk mencari pamflet-pamflet tersebut. Menurut keterangan warga, Hermanu masuk ke dalam musala dengan tidak melepaskan sepatu ini membuat warga setempat marah dan meminta Hermanu untuk meminta maaf kepada pengurus masjid dan seluruh umat Islam. Melihat kondisi semakin tidak kondusif pada 10 September 1984 pengurus musala, Syarifufin Rambe dan Ahmad Sahi mencari Hermanu untuk menyelesaikan masalah tersebut secara Hermanu dengan ditemani oleh Sertu Rahmad kemudian bersedia untuk datang dan berdialog dengan pengurus musala. Mendengar permintaan masyarakat agar meminta maaf atas perbuatannya, Hermanu menolak dengan alasan bahwa ia adalah petugas yang wajib menjaga keamanan dan ketertiban wilayah tersebut. Hermanu pun naik pitam karena terus didesak, namun pengurus musala meminta Hermanu untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai tanpa Hermanu yang diketahui oleh warga membuat mereka kemudian mendatangi Hermanu secara paksa. Masyarakat yang marah terhadap Hermanu semakin kacau karena ingin menangkap Hermanu. Bahkan sepeda motor milik Hermanu pun dibakar oleh massa. Kondisi yang semakin kacau ini membuat pertemuan tersebut tiba-tiba datang aparat Kodim 0502 Jakarta Utara. Mereka menangkap empat orang warga yang hadir saat pertemuan tersebut, di antaranya Syarifufin Rambe dan Syafwan bin Sulaeman. Kemudian Mohammad Noor ditangkap karena membakar sepeda motor milik Hermanu. Sedangkan Ahmad Sahi ditangkap selaku pengurus musala yang dituduh sebagai penggerak harinya sejumlah warga Tanjung Priok tidak terima dengan penangkapan empat orang tersebut secara sepihak. Beberapa warga setempat dengan dipimpin oleh Amir Biki seorang pimpinan dari Forum Studi dan Komunikasi 66 mendatangi Kodim 0502 meminta untuk membebaskan empat warga tersebut. Namun, usaha mereka tidak membuahkan hasil karena pihak militer beranggapan bahwa keempat orang tersebut berbahaya apabila 12 September 1984, pukul Amir Biki diundang secara resmi oleh Jenderal Try Sutrisno. Pertemuan tersebut membicarakan tentang kebijakan asas tunggal yang oleh pemerintah harus diterapkan dalam masyarakat sehingga dapat mengendalikan situasi di Tanjung Priok. Biki juga meminta kepada Try Sutrisno untuk membebaskan empat warga Tanjung Priok yang ditahan. Namun, pertemuan selama dua jam tersebut tidak membuahkan warga Tanjung Priok yang tidak dikabulkan kemudian mengadakan ceramah yang diberikan oleh Amir Biki, Sapirin Maloko SH, dan M. Nasir pada 12 September 1984 pukul Kegiatan tersebut kemudian diisi dengan ceramah-ceramah yang menyinggung penangkapan empat warga Tanjung Priok. Mereka juga menyinggung kelompok Islam yang semakin dikesampingkan oleh pemerintah Orde Baru. Pengeras suara yang dipasang pun dikeraskan volumenya dan mengarah langsung ke Markas Polres Jakarta pukul markas aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang mengancam akan melakukan pengrusakan apabila empat orang warga Tanjung Priok tidak dibebaskan. Amir Biki juga meminta agar keempat orang tersebut diserahkan kepada massa peserta ceramah. Tidak berselang lama aparat keamanan juga menerima telepon dengan permintaan yang sama. Namun, dari dua permintaan tersebut aparat tidak ini kemudian membuat warga berbondong-bondong mendatangi markas Kodim 0502 sekitar pukul Kompas dalam beritanya mencatat lebih kurang dari 1500 orang beramai-ramai meminta kepada aparat untuk membebaskan warganya. Mereka juga membawa senjata-senjata tajam yang cukup warga mulai menuju Kodim 0502 tiba-tiba di depan Markas Polres Jakarta Utara mereka dihadang oleh satu regu Artileri Pertahanan Udara Sedang yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung, di bawah komando Kapten Sriyanto, Kodim Jakarta Utara. Aparat kemudian berusaha untuk membubarkan massa secara persuasif. Namun, situasi semakin tidak terkontrol ketika massa bergerak secara mulai kewalahan menghadapi massa yang saat itu mulai tidak terkontrol. Mereka maju terus sambil berteriak-teriak dan mengacungkan senjata yang ada digenggamannya. Tembakan ke udara sebagai tanda peringatan tidak menghentikan amukan warga. Aparat mulai menembak ke tanah sehingga banyak dari warga yang terluka kakinya terkena berselang lama datanglah bantuan dari aparat keamanan dengan menggunakan panser-panser untuk menghalau massa. Gerombolan massa yang terdesak kemudian mundur, tetapi mereka sempat membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan satu apotek yang berada di dekat situ. Banyak dari warga kemudian lari meninggalkan lokasi dan berlindung di masjid-masjid. Namun, beberapa dari warga yang lari kemudian mengalami penyiksaan dari 13 September 1984 pukul aparat mulai mengendalikan situasi. Warga yang terluka dan meninggal kemudian dievakuasi ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Aparat militer kemudian melakukan penggeledahan dan penangkapan di sekitar Tanjung Priok. Komnas HAM mencatat sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat penangkapan. Mereka kemudian ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur, dan Rumah Tahanan Militer RTM Jenderal LB Moerdani mengatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas kerusuhan yang terjadi di Tanjung Priok dan akan menangkap mereka yang terbukti sebagai dalang peristiwa tersebut. Aparat keamanan mencatat sebanyak 53 orang terluka dan sembilan orang tewas. Selain itu juga terdapat 12 kendaraan bermotor dan tiga rumah termasuk satu apotek yang hangus Youtube Kompas TV, 14 November 2020Peradilan kasus PriokBeberapa saat setelah peristiwa kerusuhan di Tanjung Priok, empat tersangka yang ditahan pada 10 September 1984 mulai diadili oleh aparat keamanan. Mereka diadili dengan tuduhan telah menghasut massa di Tanjung Priok untuk melakukan kerusuhan pada 12 September 1984. Ahmad Sahi dituduh memberikan informasi palsu tentang Sersan Hermanu yang memasuki musala tanpa melepas sepatu. Syarifufin Rambe dan Syafwan bin Sulaeman dituduh menyerang petugas keamanan, sedangkan Mohammad Noor dituduh membakar motor orang tersebut kemudian dijatuhi hukuman penjara berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP. Ahmad Sahi dijatuhi hukuman 22 bulan penjara, sedangkan Syarifufin Rambe dan Syafwan bin Sulaeman masing-masing 2,5 tahun penjara. Kemudian, Mohammad Noor juga menerima hukuman 18 bulan juga Keluarga Korban Ingin Penyelesaian Sesuai UUSetelah berakhirnya vonis penjara atas empat tersangka, kemudian aparat keamanan mulai menyidangkan 28 orang yang dituduh melakukan aksi kerusuhan Tanjung Priok. 28 orang tersebut merupakan orang-orang yang diambil secara acak dari 200 orang yang ditahan di RTM Cimanggis. Sebagian besar para terdakwa mengalami cedera akibat penembakan atau kekerasan oleh aparat keamanan pada malam kerusuhan di Priok pengadilan 28 orang tersangka tersebut berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Semua terdakwa dinyatakan bersalah karena menyerang petugas keamanan dan terlibat langsung dalam kerusuhan. Disebutkan oleh Jaksa, mereka terbukti membawa senjata tajam dan bensin untuk membakar. Mereka juga mengabaikan tembakan peringatan oleh petugas, melempar batu, dan memukul petugas. Mereka juga dituduh telah memprovokasi massa untuk terlibat kerusuhan. Oleh karena itu, pengadilan menjatuhi mereka hukuman penjara antara 1-3 juga menangkap beberapa aktivis yang dianggap menghasut massa atas terjadinya kerusuhan. Salah satunya adalah AM Fatwa yang ditangkap pada 19 September 1984. AM Fatwa ditangkap karena dituduh melakukan diskusi tentang peristiwa Tanjung Priok. Dia juga mengeluarkan Lembaran Putih yang isinya kronologi kerusuhan di Priok yang berbeda dengan versi pemerintah. Pada persidangannya AM Fatwa dijatuhi hukuman penjara 18 tahun karena terbukti melakukan tindak pidana itu, beberapa penceramah yang datang dalam tabligh akbar di Tanjung Priok pada malam sebelum kerusuhan juga dihadapkan di persidangan. Tanggal 20 Juli 1985, pengadilan mengadili Salim Qadar dan Yayan Hendrayana. Keduanya dituduh melakukan ceramah yang isinya mengkritik pemerintahan Orde Baru beserta para menterinya yang dianggap gagal dalam mengatasi krisis ekonomi. Ceramah-ceramah mereka juga dituduh sebagai bentuk provokasi masyarakat setempat untuk melakukan penyelidik pelanggaran HAM Tanjung PriokPemerintahan Orde Baru berakhir pada Mei 1998. Perubahan rezim membuat beberapa kasus pelanggaran HAM sepanjang Soeharto menjabat dibuka kembali. Begitupun dengan kasus Tanjung Priok 1984 yang dianggap janggal oleh Komnas HAM. Beberapa pihak juga meminta kepada pemerintah untuk membebaskan tahanan politik dan narapidana politik tapol/napol Orde korban dan keluarga korban pun mulai mendatangi Komnas HAM meminta untuk dibuka kembali peristiwa berdarah tersebut. Mereka juga mendatangi kantor Departemen Pertahanan dan Keamanan untuk menuntut Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI Menhankam/Pangab dan Puspom ABRI untuk membuka kembali kasus Tanjung Priok secara transparan. Langkah ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dengan hadirnya ribuan massa dan beberapa tokoh politik yang hadir pada saat Peringatan 14 Tahun Peristiwa Tanjung Priok HAM kemudian melakukan penyelidikan terhadap kasus Tanjung Priok tersebut. Beberapa saksi korban dan keluarga korban mendatangi kantor Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan. Mereka bersaksi bahwa ada anggota keluarganya yang belum kembali sejak kerusuhan di Priok 1984, kemudian ada juga korban yang mengalami cacat fisik akibat perlakuan aparat saat kejadian dan tidak mendapatkan santunan dari pemeriksaan, Komnas HAM juga menemukan indikasi adanya kuburan massal korban kasus Tanjung Priok. Hal ini berasal dari dua saksi penggali kubur yang mendatangi Komnas HAM pada 9 November 1998. Dari delapan makam yang sudah ditemukan, ada lima keluarga yang telah mengkonfirmasi. Komnas HAM berkeyakinan bahwa jumlah korban peristiwa Priok jauh di atas laporan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok membuat keluarga korban mengajukan tiga usulan kepada DPR. Pertama, DPR diminta membuat Panitia Khusus untuk menyelidiki kasus Tanjung Priok karena salah satu kendala yang dihadapi adalah ketidakmampuan mendatangkan mantan petinggi militer. Kedua, DPR diminta menyusun RUU Komisi Pengakuan Sejarah Tindak Kekerasan. Ketiga, DPR diminta mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki terjadinya kekerasan agar menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran juga Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM Masa LaluPada tanggal 29 Februari 2000, Komnas HAM kemudian membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran KPP HAM untuk kasus Tanjung Priok. KPP HAM Tanjung Priok diketuai oleh Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto. Anggota KPP HAM didominasi anggota Komnas, yaitu Aisyah Aminy, BN Marbun, Albert Hasibuan, Samsudin, Charles Himawan, Saafroedin Bahar, dan Mohammad HAM Priok kemudian melakukan penyelidikan terhadap para petinggi militer yang bertugas pada saat peristiwa terjadi. Pada 24 Maret 2000, dipanggillah mantan Komandan Kodim Jakarta Utara, yaitu Mayjen TNI Butarbutar dan mantan asisten operasi Kodam Jaya Brigjen Purn Alip Pandoyo. Keduanya mengaku adanya permintaan satu pasukan peleton untuk membantu Kodim Jakarta Utara menghadapi warga Priok, namun mereka tidak tahu siapa yang 3 Mei 2000, KPP HAM Priok juga memeriksa mantan Panglima Kodam Pangdam V Jaya Jenderal Purn Try Sutrisno dan mantan Panglima ABRI Jenderal Purn LB Moerdani. Try mengatakan, tidak ada perintah penembakan dari dirinya. Apa yang terjadi pada peristiwa Tanjung Priok itu sesuai dengan SOP, berdasarkan keadaan pada saat itu, sedangkan LB Moerdani tidak menjawab sepatah katapun karena kondisi kesehatannya yang pemeriksaan KPP HAM, Djoko Soegianto mengakui, tidak mudah baginya untuk mengungkap tragedi Tanjung Priok. Hal ini disebabkan karena sebagian dokumen, bukti, atau saksi sudah tidak ada lagi. Bahkan, beberapa dokumen sengaja dimusnahkan. Mantan Direktur Utama RSPAD, Brigjen Purn Sumardi, juga menyatakan tidak tahu sama sekali mengenai peristiwa tersebut pada saat terjadinya kasus Priok. Sumardi hanya mengetahui rumah sakitnya kedatangan 36 pasien yang menderita luka-luka kemudian setelah itu dibawa mengenai kuburan massal korban Tanjung Priok kemudian mulai ditindaklanjuti oleh KPP HAM. Mereka berencana untuk menggali beberapa makam korban untuk diperiksa penyebab kematiannya. Untuk keperluan tersebut, Komnas HAM bekerja sama dengan tim forensik Universitas Indonesia, tim forensik kedokteran Polri dan tim laboratorium forensik Polri. Sepanjang penggalian dari bulan Agustus-September 2000, KPP HAM dapat memberikan kesimpulan sementara bahwa jumlah korban Priok 1984 lebih banyak dari yang penyelidikan oleh KPP HAM Priok ini kemudian diserahkan kepada kejaksaan pada 14 Oktober 2000. Komnas HAM mengakui bahwa kasus kerusuhan Tanjung Priok 1984 dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Dalam laporannya KPP HAM Priok juga menyertakan 23 nama yang diduga sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Pada 13 November 2000, Kejaksaan Agung mulai melakukan proses penyidikan kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok berdasarkan laporan dari Komnas SUSANTOKomisi Penyelidik dan Pemeriksa KPP Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok jumpa pers di Kejaksaan Agung 14/10/2000 tentang kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok. Ia menyatakan KPP Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok, merekomendasikan 23 orang pelaku dan penanggung jawab yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM berat di Tanjung Priok bulan September 1984. Tampak anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan, Djoko Soegianto dan Jaksa Agung Marzuki HAM ad hocPenyelesaian kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok diupayakan untuk diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc. Hal ini mengacu pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26/2000 berlaku dapat diadili melalui pengadilan HAM ad proses penyelesaian kasus Priok di jalur hukum, mantan Panglima Kodam Jaya Jenderal Purn Try Sutrisno, bersama pejabat keamanan lainnya yang bertugas saat kasus Tanjung Priok 1984 sepakat berdamai dengan korban islah. Pembacaan piagam perdamaian dilangsungkan pada 7 Maret 2001 di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, dengan disaksikan Rektor Universitas Paramadina Mulya Nurcholish Madjid dan Panglima Kodam Jaya Mayjen Bibit Waluyo serta korban dan keluarga ketua Yayasan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Elsam Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan bahwa islah harus dikukuhkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan disertai dengan pengungkapan kebenaran. Tanpa itu, islah tidak memiliki kekuatan yuridis untuk menghentikan proses hukum yang dilakukan kejaksaan. Oleh karena itu, proses hukum pengadilan HAM ad hoc terus 21 Maret 2001, DPR secara resmi mengajukan usul kepada pemerintah untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kemudian Presiden, Ketua Mahkamah Agung, dan Jaksa Agung mengangkat dan menetapkan hakim dan jaksa ad hoc yang memiliki integritas dan bertanggung pada 12 Januari 2002 Presiden Megawati Soekarnoputri akhirnya mengesahkan pengangkatan hakim ad hoc pengadilan HAM lewat Keppres Nomor 6/M. Presiden Megawati mengangkat enam hakim ad hoc pada pengadilan tinggi dan 12 hakim pada pengadilan tingkat pertama. Beberapa hakim ad hoc memiliki latar belakang yang berbeda-beda mulai dari akademisi hingga pensiunan pengadilan HAM ad hoc dibuka, pada 13 November 2002 Kejaksaan Agung mengumumkan 14 orang tersangka yang terbukti melakukan pelanggaran HAM kasus Tanjung Priok 1984. Namun, baru empat tersangka yang disebutkan, yakni Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Danjen Kopassus Mayjen Sriyanto, yang ketika itu menjabat sebagai Perwira Seksi Operasi Kodim Jakarta Utara; mantan Komandan Polisi Militer Kodam Jaya Mayjen Pranowo; mantan Komandan Kodim Jakarta Utara Mayjen Rudolf Butar Butar; dan mantan Komandan Regu Artileri Pertahanan Udara Kapten Sutrisno MEGOSURYASidang kasus Tanjung Priok Lima terdakwa dihukum masing-masing 20 bulan. Lima pemuda yang tertangkap pada kasus kerusuhan di Tanjung Priok 12 September 1984, masing-masing dijatuhi hukuman 20 bulan penjara potong tahanan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara 18/3/1985.Pengadilan HAM ad hoc kemudian digelar pada September 2003 - Agustus 2004 dengan agenda pemeriksaan terhadap beberapa tersangka yang sudah ditetapkan dan kesaksian dari para korban. Beberapa pejabat aparat keamanan, ketika itu, dituduh melakukan tindakan pelanggaran HAM yang berat karena tidak mencegah atau menghentikan tindakan penyiksaan yang dilakukan anggotanya, serta tidak menyerahkan kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Selain itu, mereka juga terbukti melakukan pembunuhan terhadap warga Tanjung Priok ketika peristiwa saksi korban yang diperiksa dalam pengadilan HAM ad hoc juga menyatakan bahwa dalam peristiwa Tanjung Priok dirinya dipukuli secara bergantian oleh sejumlah aparat selama sekitar dua sampai tiga jam. Ada juga korban yang dimakamkan pada malam hari tanggal 13 September 1984 tanpa sepengetahuan keluarga korban. Beberapa mayat korban juga ada yang dibuang di Pulau melalui proses persidangan yang cukup panjang, aparat militer yang terbukti bersalah dituntut kurungan penjara selama lima hingga sepuluh tahun. Majelis hakim juga memutuskan kompensasi Rp1,15 miliar yang harus dibayar negara kepada korban atau keluarganya. Beberapa dari para tersangka tidak terima dengan keputusan pengadilan. Mereka kemudian mengajukan pembelaan dengan alasan tidak bertanggung jawab terhadap peristiwa Tanjung Agustus 2004, mantan Kepala Polisi Militer Kodam V Jaya Mayjen Purn Pranowo dan mantan Kepala Seksi Operasi Komando Distrik Militer 0502 Jakarta Utara Mayjen Sriyanto divonis bebas setelah dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat. Beberapa anggota prajurit hanya divonis 2-3 tahun. Hanya Mayjen Rudolf Butar Butar yang divonis sepuluh tahun dan keluarga korban tidak menerima keputusan pengadilan atas dibebaskannya beberapa aparat keamanan yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa Tanjung Priok. Meskipun pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Priok telah berakhir, keluarga korban Priok dan korban pelanggaran HAM lainnya, bersama dengan aktivis lembaga swadaya masyarakat terus menyerukan keadilan kepada pemerintah. LITBANG KOMPASReferensi
MenurutVariansi.com, kasus tanjung priok disidangkan melalui pengadilan ham ad hoc karena terjadi sebelum diundangkan undang-undang nomor 26 tahun 2000. Secara singkat, jawaban dari pertanyaan Kasus Tanjung Priok disidangkan melalui pengadilan HAM Ad Hoc karena? tidak ada penjelasan pembahasannya.
0% found this document useful 1 vote2K views5 pagesCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsPDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 1 vote2K views5 pagesPengadilan Ham Ad Hoc Kasus Tanjung PriokJump to Page You are on page 1of 5 You're Reading a Free Preview Page 4 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Mengingatpentingnya peran hakim ad hoc dalam pengadilan HAM serta masa jabatannya yang dimungkinkan hingga 10 tahun, yakni atas apa yang dilakukan ABRI di Timor Timur dan Tanjung Priok pada 1984 serta yang dilakukan kepolisian di Abepura pada Desember 2000. Dari 34 nama yang pernah dibawa ke pengadilan HAM, tidak satu pun yang dinyatakan
› Opini›Mendesak, Penyelesaian Kasus... Dengan pembentukan UKP-PPHB, terbuka peluang untuk menyelesaikan sebagian pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini sekaligus menepati janji Presiden Jokowi dalam Nawacita. KOMPAS/RADITYA HELABUMI Aktivis dan sukarelawan bergabung dalam aksi diam Kamisan ke-612 yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan JSKK di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 28/11/2019. Aksi Kamisan secara rutin menyuarakan ketidakadilan serta memperjuangkan hak korban dan keluarga korban pelanggaran April 2021 sampai pemerintahan Joko Widodo berakhir, tinggal tersisa waktu sekitar tiga tahun lagi. Apakah dalam waktu singkat itu masalah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dapat dituntaskan?”Melalui Menko Polhukam, saya telah menugaskan agar penyelesaian masalah HAM masa lalu terus dilanjutkan, yang hasilnya bisa diterima semua pihak serta bisa diterima dunia internasional.” Demikian perintah Presiden Jokowi yang disampaikan dalam acara virtual peringatan Hari HAM Sedunia Kompas, 11/12/2020. Sebetulnya ini bukan hal baru karena sudah menjadi bagian dari program Nawacita, kampanye presiden tahun 2014. Namun, dalam periode pertama pemerintahan Jokowi, ini belum terpenuhi. Pada 16 Desember 2020, Presiden menyerahkan bantuan kompensasi kepada korban tindak pidana terorisme Rp 39,2 miliar untuk 215 korban dan ahli waris dari 40 Tanjung Priok juga pernah disidangkan dan hanya menghukum pelaku yang bukan berpangkat dan non-yudisialSetelah melewati pemerintahan rezim otoriter menuju demokrasi, biasanya pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui pengadilan HAM berat dan/atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi KKR yang bersifat non-yudisial. Pengadilan HAM berat ad hoc pernah dijalankan dalam kasus Timor Timur walaupun tidak seorang pun yang dijatuhi hukuman dalam pengadilan pada tingkat Tanjung Priok juga pernah disidangkan dan hanya menghukum pelaku yang bukan berpangkat perwira. Setelah UU KKR dibuat pada 2004 dan seleksi komisioner dilakukan beberapa tahap, beberapa pihak mengajukan uji materi judicial review ke Mahkamah Konstitusi MK. Pasal 27 yang dipersoalkan mengaitkan kompensasi dengan amnesti. Kompensasi kepada korban baru diberikan setelah pelaku meminta maaf, lalu diberi amnesti oleh pelaku tak meminta maaf, berarti kompensasi terhadap korban tak dapat diberikan. MK melakukan ultrapetita tahun 2006. Mengabulkan penghapusan pasal ini sekaligus membatalkan UU No 27/2004 karena jika pasal itu dihapus, akan hilang fungsi itu masih sempat dibahas UU penggantinya oleh Kementerian Hukum dan HAM. Beberapa LSM dilibatkan dalam pembahasannya, tetapi kemudian prosesnya mandek entah di mana. Betapa banyak waktu yang HELABUMI Aktivis dan sukarelawan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan JSKK mengikuti aksi diam Kamisan ke-609 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 7/11/2019. Aksi mengusung refleksi atas 21 tahun tragedi Semanggi 1 yang terjadi pada 13 November penyelesaian kasus Tanjung Priok muncul istilah islah damai antara pelaku dan korban, sementara korban memperoleh santunan dari pelaku. Demikian pula wacana Dewan Kerukunan Nasional semasa Wiranto menjadi Menko Polkam juga tak dapat sambutan dari korban karena gagasannya tak waktu lalu muncul terobosan dari Kemenkumham dengan rencana pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat melalui Mekanisme Nonyudisial UKP-PPHB. Fokusnya pemulihan dan rekonsiliasi saya, lebih baik jika konsentrasi pada pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban. Dalam hal ini, modelnya seperti Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste. Komisi ini memeriksa beberapa kasus berdasarkan penyelidikan yang sudah dilakukan beberapa lembaga. Berdasarkan temuan itu, komisi itu turun ke lapangan mengumpulkan dokumen dan wawancara saksi dan pemulihan korban, selama ini upaya yang telah dilakukan secara lokal ataupun sektoral terbatas pada bantuan kebutuhan keputusan akhirnya, komisi ini menguraikan berbagai kasus tersebut, menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat dan menyebutkan lembaga yang bertanggung jawab. Jadi, tak ada individu yang diadili. Untuk pemulihan korban, selama ini upaya yang telah dilakukan secara lokal ataupun sektoral terbatas pada bantuan kebutuhan dasar. Wali Kota Palu dalam Peraturan Wali Kota No 25/2013 Rencana Aksi Nasional HAM Daerah memberi bantuan kesehatan kepada korban peristiwa 1965 setelah secara terbuka meminta 1966 sampai 1978, sebanyak 300 tahanan politik tapol 1965 ini melakukan kerja paksa membangun 17 proyek infrastruktur di Palu tanpa dibayar, antara lain proyek Kali Palu untuk mencegah banjir, pembangunan kantor korem, pengaspalan jalan, termasuk landas pacu 2013, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK telah memberikan bantuan medis dan psikososial BMP untuk korban peristiwa 1965 434 orang, korban penghilangan paksa 12 orang, dan kasus Tanjung Priok 6 orang. Tahun 2015, yang meminta bantuan ini ALFAJRI Komnas HAM menggelar konferensi pers, Kamis 28/11/2019, di Jakarta. Ada tiga isu HAM strategis yang direkomendasikan kepada Presiden, salah satunya penyelesaian pelanggaran HAM lama makin banyak korban yang mendaftar dan belum dapat bantuan. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli waris sesuai kemampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan fisik dan mental Pasal UU KKR yang dibatalkan.Dalam Prolegnas 2021, RUU KKR tak masuk di dalamnya. Jika UU KKR yang baru itu disusun, tentu akan memakan waktu. Belum lagi proses selanjutnya pembentukan panitia seleksi, proses penyaringan calon anggota KKR yang berlangsung berapa tingkat. Dan setelah itu akan memakan tempo pula bagi komisi untuk bekerja. Oleh sebab itu, tak cukup waktu tiga tahun untuk menyelesaikan semua tahapan ini sampai KKR mengambil UKP-PPHB bisa dibentuk dalam waktu singkat. Yang dapat diperiksa UKP-PPHB adalah sekitar 10 kasus yang dipilih pada kurun 1945-2000. Jika penahanan terhadap tokoh Masyumi dan PSI tahun 1960-an termasuk Hamka dianggap pelanggaran HAM berat, kasus ini juga bisa hemat kami, kasus pembunuhan misterius 1982-1985 bisa diselesaikan secara UKP-PPHB tak meniadakan pengadilan HAM berat dengan pertimbangan bahwa kasus pelanggaran HAM berat itu tak mengenal kedaluwarsa. Dalam UU Pengadilan HAM Tahun 2000 memang disebut KKR sebagai alternatif KKR. Namun, karena KKR tak jadi terbentuk, UKP-PPHB bisa dianggap sebagai hemat kami, kasus pembunuhan misterius 1982-1985 bisa diselesaikan secara non-yudisial. UKP-PPHB memeriksa kasus, menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat, dan menyebutkan instansi yang bertanggung jawab. Kemudian diberikan kompensasi kepada keluarga kasus Timor Timur, Indonesia telah menyelenggarakan pengadilan HAM berat ad hoc Timor Leste sendiri telah membentuk dan menyelenggarakan CAVR tahun 2004 yang mencatat semua pelanggaran HAM pada 1979-1999. Setelah itu diadakan pula Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang disetujui dan melibatkan kedua negara. Apa kasus ini masih mau dibahas lagi?Selain pembentukan UKP-PPHB, dapat diselesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui Pengadilan HAM. Terkait berbagai kasus yang terjadi setelah Soeharto berhenti jadi presiden, Mei 1998, sampai UU Pengadilan HAM dikeluarkan, November 2000, UKP-PPBH dapat menemui para korban dan menanyakan apakah kasusnya akan diselesaikan secara non-yudisial atau melalui pengadilan HAM ad hoc. Peristiwa yang terjadi setelah pembentukan UU pengadilan HAM November 2000 ditangani pengadilan HAM 1965Menyangkut tragedi 1965, sebaiknya kasus itu dipilah-pilah. Peristiwa pembunuhan massal yang memakan korban orang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan genosida sebaiknya diselesaikan lewat pengadilan HAM ad hoc yang tak mengenal dua kasus yang dapat diselesaikan lebih dahulu. Pertama, kasus pencabutan kewarganegaraan orang Indonesia yang berada di luar negeri tahun 1965/1966. Kedua, kasus pembuangan paksa ke Pulau Buru tahun 1969-1979. Kedua kasus itu murni kebijakan negara, tetapi merugikan dan bahkan menghancurkan kehidupan warga negara pembentukan UKP-PPHB, terbuka peluang untuk menyelesaikan sebagian pelanggaran HAM berat masa kasus pertama, tinggal diakui bahwa terjadi kekeliruan pada masa lampau dan untuk itu pemerintah meminta maaf kepada para eksil tersebut. Dalam kasus Pulau Buru, Presiden dapat memberikan rehabilitasi. Syaratnya, rehabilitasi ini perlu disetujui Mahkamah Agung. Dulu, Ketua MA Bagir Manan pernah membuat surat mengenai pembentukan UKP-PPHB, terbuka peluang untuk menyelesaikan sebagian pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini sekaligus menepati janji Presiden Jokowi dalam Nawacita. Dalam perspektif korban, tentu yang diharapkan kebenaran diungkapkan, pelaku dihukum, dan kompensasi diberikan. Dalam kenyataan, seiring waktu yang terus berjalan, tidak semua bisa Warman Adam, Profesor Riset LIPI; Narasumber pada CAVR 2004 dan Komisi Kebenaran dan Persahabatan 2008 di Dili

Kasuspelanggaran HAM tersebut berhasil disidangkan melalui pengadilan HAM Ad Hoc karena peristiwa tersebut melanggar tentang Hak Asasi Manusia disebabkan massa itu membunuh orang yang tidak berdosa di Tanjung Priok, Jakarta dan harus dilaporkan ke pengadilan HAM agar hukumannya setimpal dengan pembunuhan tersebut Semoga Membantu

Selasa, 29 Juni 2004 1432 WIB Iklan TEMPO Interaktif, Jakarta Majelis hakim pengadilan ad hoc pelanggaran berat HAM Tanjung Priok menunda persidangan. Sesuai jadwal, hari ini 29/6, akan dibawakan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum untuk tersangka Pranowo. "Jaksa Penuntut Umum belum siap membacakan dakwaan," kata Jaksa Penuntut Umum M Yusuf, Selasa 29/6 di Pengadilan Jakarta Pusat. Persidangan akan dibuka Jumat 1/7 mendatang. Pranowo, mantan Komandan PM Kodam Jaya diajukan ke Pengadilan HAM sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyiksaan korban Tanjung Priok di rutan militer Guntur dan Cimanggis. Sutarto - Tempo News Room Artikel Terkait Kilas Balik Janji Presiden Jokowi Cari Wiji Thukul 7 Januari 2023 Mahfud Md Menyebut Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Segera Bertugas 25 September 2022 Aksi Kamisan, Perjuangan Keluarga Korban Pelanggaran HAM Tuntut Tanggung Jawab Negara 22 September 2022 Kilas Balik Tragedi Kerusuhan dan Penembakan di Tanjung Priok di September Tahun 1984 13 September 2022 Jadi Pelabuhan Hub, Tanjung Priok Bakal Ramai Kapal Asing 6 Oktober 2019 Jaksa Agung Sebut Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu PR Bersama 5 Juni 2018 Rekomendasi Artikel Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini. Video Pilihan Kilas Balik Janji Presiden Jokowi Cari Wiji Thukul 7 Januari 2023 Kilas Balik Janji Presiden Jokowi Cari Wiji Thukul Sampai Sipon meninggal dunia, Wiji Thukul masih berstatus orang hilang. Padahal, Presiden Jokowi pernah berjanji mencari Wiji Thukul. Mahfud Md Menyebut Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Segera Bertugas 25 September 2022 Mahfud Md Menyebut Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Segera Bertugas Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat PPHAM masa lalu yang dipimpin Makarim Wibisono menggelar rapat pertamanya di Surabaya. Aksi Kamisan, Perjuangan Keluarga Korban Pelanggaran HAM Tuntut Tanggung Jawab Negara 22 September 2022 Aksi Kamisan, Perjuangan Keluarga Korban Pelanggaran HAM Tuntut Tanggung Jawab Negara Aksi Kamisan sudah berlangsung 15 tahun, keluarga pelanggaran HAM menuntut janji pemerintah menuntaskannya. Kilas Balik Tragedi Kerusuhan dan Penembakan di Tanjung Priok di September Tahun 1984 13 September 2022 Kilas Balik Tragedi Kerusuhan dan Penembakan di Tanjung Priok di September Tahun 1984 Abdul Qadir Djaelani, seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung Priok, disebut-sebut kerap menyampaikan ceramah yang dianggap provokatif Jadi Pelabuhan Hub, Tanjung Priok Bakal Ramai Kapal Asing 6 Oktober 2019 Jadi Pelabuhan Hub, Tanjung Priok Bakal Ramai Kapal Asing Pelabuhan barang di Pelabuhan Tanjung Priok yang dikelola oleh PT Pelindo II Persero mulai menjadi hub atau pelabuhan internasional Jaksa Agung Sebut Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu PR Bersama 5 Juni 2018 Jaksa Agung Sebut Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu PR Bersama Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu bukan hanya pekerjaan rumah Kejaksaan Agung. Prasetyo Sarankan Kasus HAM Masa Lalu Diselesaikan Non Yudisial 10 Januari 2018 Prasetyo Sarankan Kasus HAM Masa Lalu Diselesaikan Non Yudisial Jaksa Agung HM Prasetyo mencontohkan kasus pelanggaran HAM di masa lalu pada 1965-1966, sulit untuk ditemukan pelaku dan mengumpulkan buktinya. Cerita Perlawanan AM Fatwa dalam Tragedi Tanjung Priok 1984 14 Desember 2017 Cerita Perlawanan AM Fatwa dalam Tragedi Tanjung Priok 1984 Bersama dengan kelompok kerja Petisi 50, AM Fatwa mengeluarkan sebuah pernyataan yang disebut Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok. Penyebab Ombudsman Ingin Temui Langsung Menkopolhukam Wiranto 29 Maret 2017 Penyebab Ombudsman Ingin Temui Langsung Menkopolhukam Wiranto Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan pihaknya perlu mendengar penjelasan Menkopolhukam Wiranto soal terobosan solusi kasus HAM berat dulu. Massa Mengaku Korban Peristiwa 27 Juli 1996 Tagih Janji PDIP 13 Maret 2017 Massa Mengaku Korban Peristiwa 27 Juli 1996 Tagih Janji PDIP Menurut koordinator aksi, PDIP sudah tutup mata dan hati terhadap korban peristiwa Kudatuli.
Tidakdiketahui secara pasti berapa korban, baik yang tewas, luka-luka, maupun hilang, dalam tragedi di Tanjung Priok karena pemerintah Orde Baru menutupi fakta yang sebenarnya. Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka dalam insiden tersebut (A.M. Fatwa, Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok
Kejahatan atau pelanggaran Hak Asasi Manusia atau yang biasa dikenal dengan pelanggaran HAM merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Mengapa di kaitkan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena setiap manusia yang lahir dan hidup dimanapun pada dasarnya memiliki hak yang sama satu sama lain. Oleh sebab itu, kejahatan maupun pelanggaran HAM di setiap negara memiliki landasan hukum yang kuat, dan juga pengadilan khusus untuk mengatasi maupun menyelesaikan permasalahan Indonesia sendiri juga memiliki pengadilan khusus yang berhubungan dengan pelanggaran HAM, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Adanya Pengadilan HAM maupun Pengadilan HAM Ad Hoc juga merupakan salah satu upaya penyelesaian pelanggaran HAM, terutama yang berlaku di Indonesia. Apa perbedaan Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia? Mari simak ulasan lengkap berikut yang pertama dapat dilihat dari perbedaan pengertian dari Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc itu sendiri. Walaupun pada dasarnya, keduanya sama-sama merupakan pengadilan yang mengatasi kejahatan atau pun pelanggaran HAM yang terjadi di HAMPengadilan HAM merupakan pengadilan khusus untuk mengatasi atau memproses kejahatan maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi, baik yang bersifat pelanggaran ringan maupun pelanggaran berat. Pengadilan HAM juga salah satu Pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Peradilan HAM Ad HocPengadilan HAM Ad Hoc merupakan pengadilan yang dibentuk dan memiliki wewenang untuk memproses kejahatan atau pelanggaran HAM yang dilakukan seseorang atau kelompok yang bersifat pelanggaran berat saja dan juga merugikan. Pengadilan HAM Ad Hoc juga ditujukan untuk memelihara perdamaian dan juga memberikan perasaan aman dan juga adil bagi setiap orang atau pun kelompok yang kedua dari Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc adalah dari sifat kedua pengadilan yang dibentuk tersebut. Memang keduanya merupakan Pengadilan yang dibentuk dan didasarkan pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM yang diberlakukan di Indonesia. Namun dari landasan hukum tersebut pula dapat dilihat sifat dari kedua Pengadilan HAM yang berlaku di HAM bersifat tetap atau permanen untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi, baik yang bersifat ringan maupun berat. Selama landasan hukumnya masih berlaku dan tidak merubah kewenangan dari Peradilan HAM, maka kedudukannya akan tetap sama dan tetap di Indonesia. Berbeda dengan Pengadilan HAM Ad Hoc dimana memiliki sifat yang tidak tetap atau tidak permanen. Pengadilan HAM Ad Hoc akan dibentuk ketika ada pelanggaran atau kejahatan HAM yang bersifat berat dan merugikan saja, serta peristiwa-peristiwa tertentu saja. Artinya bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc bersifat sementara hingga kasus atau peristiwa yang ditangani dianggap telah selesai atau Pelanggaran HAM yang DitanganiKejahatan atau jenis-jenis pelanggaran HAM sendiri sebenarnya dibagi menjadi dua macam, yaituOrdinary Crimes yaitu kejahatan umum seperti pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penganiayaan, penyiksaan, perkosaan, dan lain Crimes yaitu kejahatan atau pelanggaran berat atau tidak umum, seperti kejahatan genocida, war crime, dan lain dari kedua jenis tersebut, pelanggaran atau kejahatan HAM yang ditangani oleh Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc pastinya berbeda. Secara umumnya, Pengadilan HAM akan menangani kejahatan atau pelanggaran HAM yang termasuk kedalam Ordinary Crimes saja, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc akan menangani kejahatan atau pelanggaran yang termasuk kedalam Extraordinary atau pelanggaran HAM yang dapat diperiksa atau diputuskan oleh Pengadilan Hukum HAM Ad Hoc merupakan perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan sebelum keluarnya UU No. 26 Tahun 2000. Sebagai contoh seperti kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok maupun peristiwa Timur-Timur yang melepaskan diri dari Indonesia. Sedangkan Pengadilan HAM permanen memiliki wewenang untuk mengadili maupun memutuskan perkara umum maupun berat yang terjadi setelah adanya UU No. 26 Tahun 2000. Jadi segala kejahatan atau pelanggaran HAM yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 akan di adili melalui Pengadilan HAM di Indonesia, itu juga merupakan salah satu tujuan dibentuknya Pengadilan beberapa perbedaan dari Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Dimana jika di lihat dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Pengadilan yang digunakan untuk menangani kejahatan maupun pelanggaran HAM saat ini maupun setelah munculnya UU No. 26 Tahun 2000 adalah Pengadilan HAM yang bersifat permanen. Sedangkan untuk kejahatan atau pelanggaran HAM berat sebelum keluarnya UU No. 26 Tahun 2000 akan diproses oleh Pengadilan HAM Ad Hoc, dimana Pengadilan HAM Ad Hoc ini juga memiliki beberapa persyaratan untuk di bentuk. Beberapa syarat pembentukannya diantaranya adalahAdanya dugaan kejahatan atau pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh Kejahatan Agung terhadap peristiwa yang sama rekomendasi dari DPR kepada pemerintah untuk dibentuk Pengadilan Hukum Ad Hoc, beserta dengan tempus dan locus delicti tertentu keputusan Presiden atau Keppres untuk di bentuk atau didirikannya Pengadilan HAM Ad beberapa penjelasan mengenai perbedaan Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia yang berlandaskan pada UU Tahun 2000, sebagai salah satu macam instrumen HAM. Semoga informasi di atas dapat bermanfaat. . 246 374 103 91 397 455 245 475

kasus tanjung priok disidangkan melalui pengadilan ham ad hoc karena